Terima kasih Sahabat, amanah darimu telah kami sampaikan kepada Nek Narmah yang di usia senjanya masih harus berjuang untuk mencukupi dirinya dengan berjualan Sapu Lidi, dukunganmu sangat berarti bagi Nek Narmah. Ia semakin yakin bahwa masih banyak sekali orang-orang baik di sekelilingnya, meski ia belum pernah bertemu secara langsung

Doa-doa kebaikan langsung terucap sekaligus terhantarkan untuk Sahabat semua beserta rasa syukur tak terhingga, amanah darimu akan digunakan untuk membetulkan rumahnya yang telah rusak agar bisa kembali digunakan sebagaimana mestinya.

Terima kasih Sahabat, semoga apa yang telah diberikan menjadi manfaat untuk Nek Narmah dan Allah ganti dengan pahala yang berlipat ganda 🤲



Tangannya gemetar, matanya tak setajam dulu, tapi semangat Nek Narmah tak pernah pudar. Di usia 77 tahun, beliau masih berjuang menghidupi dirinya sendiri dengan membuat dan menjual sapu lidi tradisional.
Tapi miris! Hari beruntung itu tak datang tiap hari… Lebih sering sapunya tak laku dibeli satupun. Hingga terpaksa ia harus menahan lapar hanya dengan air putih dan lauk seadanya.
Ketika kami bertanya mengapa di usia senjanya beliau masih bekerja keras seperti ini, jawabannya sederhana namun menyesakkan hati:“Kalo Mak nggak bikin kayak gini, Mak makan sama apa, Nak?”
Sapu lidi ini dibuat dari hasil tangannya sendiri. Setiap hari, Nek Narmah memulai harinya dengan mencari bahan baku daun kelapa kering di hutan.
Satu buah sapu lidi dijual 5 ribu perak. Namun Nek Narmah hanya bisa mengumpulkan 4 ikat sapu lidi dalam waktu seminggu.
Bisakah kamu membayangkan bagaimana Nek Narmah harus bertahan dengan uang pas-pasan untuk bertahan hidup?
Terlebih mbah hidup sendiri tanpa suami dan anak. Ia tinggal sebatang kara di rumah tak layak huni reyot di luar dan di dalamnya. 